Sabtu, 09 Juli 2011

KEDUDUKAN PREREMPUAN DALAM ISLAM

Para ulama telah banyak menulis buku-buku dan berbagai bahasan yang memperlihatkan kedudukan terhormat dimana Islam meletakkan perempuan, dan mereka tidak meninggalkan satu hakikat yang samar atau satu syubhat yang palsu pun kecuali mereka telah menyanggahnya dan membuktikan sisi kebenaran padanya.

Ketika para ulama dan fuqaha berbicara tentang dimensi ini, mereka tidak membela Islam. Karena Islam tidak berada dalam posisi tertuduh-berkaitan dengan masalah perempuan maupun masalah-masalah lainnya- sehingga butuh kepada orang yang membelanya. Tidak, belum dan tidak akan pernah satu haripun seperti demikian. Karena ia (Islam) adalah syari’at Allah yang Maha Bijaksana, yang mana pemahaman dan akal pikiran manusia tidak sanggup sampai kepada seluruh hikmah-hikmahnya. Karena akal adalah makhluk, sedangkan ia adalah tasyri’ sang Khaliq, dan karena akal terbatas, sementara ia adalah tasyri’ yang tidak dibatasai masa ataupun tempat.

Maka para ulama yang menulis tentang masalah ini dan masalah-masalah lainnya hanya untuk memperjelas bagi orang yang hendak memahami atau mengetahui dan mempelajari. Tempat ini tidak memuat lebih dari penegasan atas hakikat yang nyata ini.

Saya kembali kepada apa yang disebutkan para ulama tentang kedudukan perempuan dalam Islam. Maka saya katakan :

Islam dalam pandangannya terhadap perempuan bertolak dari dua perkara yang diakui oleh seluruh akal manusia, tak ada seorangpun yang membantahnya dan tak ada seorangpun yang mengingkarinya. Kedua perkara ini adalah :

  1. Keadaan perempuan sebagai manusia yang memiliki karekteristik-karekteristik jenis manusia.
  2. Keadaan perempuan sebagai wanita yang berbeda dengan ciri-ciri khas kewanitaannya.

Lalu Islam memberi perempuan akan hak-hak kemanusian secara utuh dan menjaga karekteristik-karekteristik kewanitannya secara sempurna serta tidak mengabaikan kedua-dunanya.

Ketika Islam mengembalikan perempuan kepada kedudukannya, Islam bertolak dari watak dan tabiatnya. Maka Islam mendeklerasikan sifat kemanusiannya dimana dia sama denngan lelaki dalam seluruh hak dan kewajiban manusia serta mendeklarasikan sifat-sifatnya yang khusus yang membedakannya dari lelaki dengan menganggapnya sebagai wanita yang memiliki sebagai wanita yang memiliki sifat-sifat khusus dan hak-hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang berbeda. Dalam tasyri’nya bagi kedua dimensi ini pada perempuan, Islam tidak mengabaikannya dari kondisi yang ditetapkan fitrah bagi seorang insan dan tidak melampauinya sejauh yang digariskan alam bagi seorang wanita.

Nash-nash Al-Qur’an dan sunnah mengukuhkan keseimbangan ini dalam pandangan Islam rehadap wanita yang memberinya kedudukan sangat mulia dan terhormat. Cukuplah kami paparkan sebagian contoh atas hal tersebut:

1. Dalam mengukuhkan sifat kemanusiannya, Allah SWT berfirman:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal(QS. Al-Hujuraat: 13)

Berarti dia sama seperti lelaki dalam sifat kemanusian dan dia adalah saudarnya sesama manusia. Allah SWT telah menciptakannya sebagaimana Dia menciptakan lelaki, dan tak ada kelebihan lelaki atasnya.

2. Selama sifat kemanusiannya telah dikukuhkan, maka dia mesti memikul tanggung jawab penuh terhadap perbuatan-perbuatannya. Maka dia mendapat ganjaran pahala dan menanggung siksa. Allah SWT berfirman:

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.(QS. Ali Imran: 195)

Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS. An-Nisaa’: 124)

3. Jika dia harus memikul tanggung jawabnya, maka dia mesti dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab ini. Berarti dia harus dididik dengan sebagus-bagusnya dan diajar dengan sebaik-baiknya.

Rasulullah Saw bersabda,

“Siapapun lelaki yang memiliki sahaya perempuan, lalu ia mengajarinya dengan sebaik-baiknya dan mendidiknya sebagus-bagusnya, kemudian memerdekakannya dan menikahinya maka baginya dua ganjaran pahala.” (HR. Bukhari)

Rasulullah Saw juga bersabda,

“Memuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Madjah) Dan perempuan tentu juga termasuk dalam kewajiban ini.

4. Apabila wanita telah terpelajar dan terdidik, maka tidak mungkin sama sekali menggugurkan kapabilitas ekonomi dan sosialnya.

Maka dari segala kapabelitas ekonominya Islam memberinya hak untuk memiliki, mewarisi, berjual beli, menerima, memberi dan seterusnya. Allah SWT berfirman:

“ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (Qs. An-Nissa’: 7) Dan Allah SWT berfirman : “ Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Qs. An-Nisaa’ : 4)

Rasulullah Saw bersabda,

“ Jika perempuan berinfak dari makanan rumahnya tanpa merusak, baginya pahala karena apa yang diinfakkannya itu dan baginya pahala karena apa yang diinfakkannya itu dan bagi suaminya pahala karena apa yang di usakannya.”(HR. Bukhari-muslim)

5. Dari segi kapabelitas sosialnya, Islam memberinya hak memilih lelaki yang disukainya sebagaimana suami dengan sekira-kira tak seorangpun dari para walinya-walaupun dia seorang ayah- boleh memaksanya untuk menerima seorang suami yang disukainya.

Rasulullah Saw bersabda,

“Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan perawan harus dimintai izin oleh ayahnya mengenai dirinya, dan izinnya adalah diamnya”. (HR Muslim)

Jika ada seorang memaksanya atas hal tersebut, maka Islam menyerahkan masalah tersebut kepadanya. Jika dia mau dia boleh menerimanya dan jika dia mau dia boleh menolaknya.

Seorang gadis pernah datang kepada Rasulullah Saw lalu berkata, “ Ayahku telah menikahkan aku dengan anak saudarnya untuk meninggikan kerendahan derajatnya.” Maka Rasulullah Saw menyerahkan masalah tersebut kepadanya. Lalau ia berkata, “ Aku telah memperbolehkan apa yang telah diperbuat ayahku. Akan tetapi aku hanya ingin memberitahu kaum wanita bahwa para ayah tidak memiliki sedikit hakpun dalam masalah ini”

6. Bahkan Islam mengantarkan perempuan lebih jauh dari itu ketika Islam menjadikanya bertanggung jawab terhadap perbaikan masyarakat melalaui amar ma’ruf dan nahi munkar.

Allah SWT berfirman :

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah:71).

Ini adalah contoh-contoh pandangan Islam terhadap perempuan dalam dimensi kemanusiannya yang sama dengan kaum lelaki

Adapun pandanga Islam tentang dimensi kewanitaannya yang hanya khusus baginya, maka contoh-contoh atas hal tersebut juga banyak, diantaranya:

1. Islam melindungi dan menjaganya dari kesusahan dan kesulitan dalam mencari penghidupan. Maka Islam mewajibkan nafkahnya atas walinya, baik dia ayah, saudara, paman ataupun selain mereka. Jika dia telah menikah, maka tanggungan nafkah dan pemenuhan kebutuhannya beralih kepada suaminya walaupu ia memiliki harta.

Rasulullah Saw bersabda,

Barang sispa yang memiliki tiga anak perempuan, ia melindungi mereka, menyayangi mereka dan menanggung mereka, wajiblah baginya surga.” Ada yang berkata, “ Wahai Rasulullah jika dua orang?” Beliau menjawab, “ Sekalipun dua orang.” Perawi berkata, “Maka sebagian orang melihat sekiranya sekiranya ia mengatakan satu orang niscaya belia berkata, “Dan satu orangpun”

Dari Mu’awiyah ibn Hidayah Ra. Ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami atas suaminya?’ Beliau menjawab, ‘Engkau memberinya makan jika engaku makan, engkau memberinya pakaian jika engkau memakai pakaian, engakau tidak memukul wajah, tidak menjelek-jelakkan dan tidak memboikot kecuali dirumah.’” (HR Ibnu Majah)

Tanggungan ini merupakan tuntutan alaminya sebagai wanita yang harus mengurus rumahnya serta mengasuh anak-anaknya, dan ini merupakan tugas berat yang membutuhkan tenaga yang besar serta konsentrasi penuh. Oleh karena itu Islam tidak mewajibkannya bekerja di luar rumah, karena ini merupakan kezaliman baginya. Sebab ketika ia bekerja di luar dan lelah di dalam rumahnya, lalu bagaimana ia bisa menggabung antara ini dan itu?!

2. Di antaranya bahwa Islam menjaga sifat kewanitaanya sehingga dia tetap menjadi sumber perasaan-perasaan sayang, lembut dan indah. Oleh karena itu Islam menghalalkan bagi sebagian yang diharamkan atas kaum lelaki berdasarkan tuntutan watak wanita dan tugasnya, serta memakai perhiasan emas dan mengenakan pakaian sutra murni.

Dsebutkan di dalam hadist, “Sesungguhnya kedua benda ini haram atas kaum lalaki umatku, halal bagi kaum wanita mereka.” (HR. Abu Daud)

Sebaliknya Islam mengharamkan atasnya segala hal yang berlawanan dengan sifat kewanitaan ini, seperti menyerupai lelaki dalam berpakaian, gerak-gerik, perilaku dan lain sebagainya, memperlihatkan perhiasan kepada selain suami dan mahrim-mahrimnya, arau berdua-duaan dengan lelaki yang bukan suaminya dan bukan pula mahrimnya, atau berbaur dengan komonitas lelaki ajnabi tanpa adanya keperluan yang mendesak, ataupun melebihi dari ukuran yang sewajarnya, atau tidak konsisten dengan batasan-batasan syariat dalam pertemuan dengan mereka.

DR. Yusuf al-Qardhawi berkata, “Dengan hukum-hukum ini Islam melindungi sifat kewanitaan perempuan dari taring-taring pemangsa dari satu sisi, dan menjaga sifat malu serta kehormatannya dengan menjauhkannya dari faktor-faktor penyimpangan dan penyesatan dari sisi lain, dan memelihara citranya dari lidah-lidah para tukang fitnah dan tukang hasung dari sisi ketiga. Bersama dengan ini semua, Islam menjaga jiwanya dan syarf-syarafnya dari ketegangan dan stress serta dari goncangan-goncangan dan tekakan-tekakan akibat tidak terkendalinya imajinasi, sibuknya hati dan terbagi-baginya perasaan di antara berbagai motif dan pemicu.” (Malaamih al Mujtama’ al-Muslim, hal 368)

3. Di antaranya, demikian pula halnya setiap hukum-hukum di mana Islam membedakan antara perempuan dan lelaki dari segi kepemimpinan, warisan, serta kesaksian dalam masalah harta dan tindak pidana, perwalian umum serta lain sebagainya, semuanya secara umum kembali kepada pemeliharaan watak wanita dan perbedaan struktur yang telah di akui Al-Qur’an ketika mengatakan : “Dan anak laki-laki tidak seperti perempuan.” (Qs. Ali Imran: 36)

Ya, mereka tidak sama dan tidak akan pernah sama selama-lanya. Lalu kenapa para pemilik peradaban Barat dan para pengekor mereka di negara-negara kita hendak melampuai hakikat alami yang ditetapkan oleh seluruh akal manusia ini?

Itulah pandangan Islam yang seimbang terhadap perempuan dari sisi kemanusian dan kewanitannya, yaitu pandangan yang meletakkan perempuan di jalan penghormatan yang hakiki dan menjaganya dari seluruh segi, serta memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu dan masa berikutnya dalam pandangan mereka terhadap perempuan.

Al-Ustadz Al-Aqqad berkata, “ Sifat wanita yang dilukiskan di dalam Al-Qur’an adalah sifat yang dibawanya sejak lahir atau sifat alaminya yang hidup dia dengannya bersama dirinya dan keluarganya. Dan hak-hak seta kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum Islam untuk wanita telah memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu pada setiap umat peradaban-peradaban kuno, dan memberi wanita kedudukan yang belum pernah didapatkanya dari peradaban-peradaban sebelumnya dan sesudah kemunculan Islam tak akan datang lagi satu peradaban yang memberinya. Bahkan etika-etika peradaban modern datang dalam keadaan semakin mengabaikan dalam hukum-hukumnya dan wasiat-wasiatnya tentang wanita. ” (Al-Mar’ah fi al-Qur’an al-Kariim, hal. 7-8)

Muhammad Ramadhan Abu Bakar Mahmud

Dosen Fakultas Dakwah Universitas Al-Azhar

Minggu, 08 Agustus 2010

INTEGRASI SHOUM RAMADHAN, NUJUL QUR’AN DAN LAILATUL QADR

INTEGRASI SHOUM RAMADHAN, NUJUL QUR’AN DAN LAILATUL QADR

Oleh : Iskandar Perangin Angin

Perlu saya sampaikan bahwa tulisan ini dibuat adalah untuk merangkum dan merefresh kembali hasil kegiatan diskusi seputar Ramadhan yang sering saya ikuti ketika masih aktif di kegiatan organisasi kampus. Sekedar memberi tahu bahwa ketika mahasiswa saya aktif di sebuah organisasi eksternal kampus yang berdiri tanggal 5 Februari 1947, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi ini sering membuat kegiatan pengajian atau lebih tepatnya diskusi mengenai wacana keislaman. Berbagai macam pokok pembahasan dikaji mulai dari persoalan Ibadah, Syari’ah, Muamalah dan lainnya hingga sampai pada pembahasan mengenai ramadhan dan aksesorisnya. Kegiatan ini dikemas secara apik oleh pengurus HMI dan dibawakan secara lugas, menggelitik oleh nara sumber yang bersangkutan sehingga diskusinya sangat menarik perhatian. Jangan anda kira diskusinya seperti ceramah dimesjid-mesjid yang sering kita lihat. Anda tidak akan mennemukan hal tersebut disini. Tapi kalau anda ingin mencari kajian islami yang kritis, radikal, mengejutkan, bahkan kadang membingungkan, ya… di sinilah tempatnya. Jadi bagi anda yang tidak siap berfikir objektif, kritis, hanya mengedepankan emosi, saya sarankan lebih baik tidak usah ikut.

Kembali kepada pokok pembahasan kita mengenai Shoum Ramadhan, Nujul Qur’an dan Lailatul Qadr. Ketiga hal ini adalah perihal yang sudah sangat lazim kita dengar sehari-hari, apalagi kalau suasananya di bulan Ramadhan, jadi bukan sesuatu yang asing lagi bagi kita. Namun perlu saya tekankan bahwa belum tentu kajian mengenai ketiga pokok pembahasan ini juga lazim bagi kita. Barang kali anda bertanya, “tidak lazimnya dimana?”. Agar tidak menambah tanda tanya anda, kita akan langsung saja masuk ke pembahasannya.

Ramadhan adalah bulan paling istimewa dalam islam ditandai dengan adanya penyebutan bulan ini di dalam Al Quran (QS 2:185), sementara bulan-bulan yang lain sama sekali tidak ada. Ditambah lagi dengan keistimewaan lain yang secara historis menunjukkan keluar-biasaan bulan ini. Hal tersebut menjadikan bulan ini benar-benar sakral. Keistimewaan tersebut sampai berimplikasi juga terhadap kebiasaan atau budaya masyarakat islam pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari aktifitas masyrakat islam diseluruh penjuru dunia ketika hendak memasuki ramadhan dan ketika berada di dalam ramadhan. Begitulah Ramadhan ketika kita tinjau dari aspek teologis, historis, dan sosiologis yang sederhana.

Namun sebagai manusia yang hanif (QS 30:30), yang cenderung kepada kebenaran, tidaklah cukup kita hanya memahami ramadan sebatas itu saja. Ramadhan tidak hanya menjadi kisah sejarah yang luar biasa, tidak sebatas gambaran yang terus menjadi gambar dalam pikiran kita, dan tidak hanya sebtas ritual tahunan yang harus kita lalui. Ketika kita berhenti hanya sampai batas itu, maka kita sudah melawan fitrah kita yang hanif, yang selalu haus akan kebenaran. Caranya dengan terus keritis, hikmat, objektif, dan aplikatif terhadap Al Qur’an dan Hadits. Dengan begitu kita akan semakin memahami keistimewaan ramadhan tersebut, tidak hanya sebatas ritual dan cerita sejarah, namun mampu menginternalisasi dalam diri kita dan mampu kita peristiwakan.

HAKIKAT RAMADHAN

Ramadhan identik dengan Puasa yang secara terminology berasal kata Shiam/ Shoum, yang artinya menahan. Apa yg ditahan..? Secara gamblang dapat diartikan menahan diri dari segala sesuatu yg membatalkan puasa dari terbit waktu imsak hingga waktu future (berbuka). Begitulah kira-kira menurut fiqih yg sering saya baca waktu sekolah di madrasah. Namun bagaimanakah ramadhan menurut Al Qur’an dan Sunnah Rasul sbg sumber pokok ajaran Islam?

QS Al-Baqoroah (2): 185 menjelaskan :

“bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”

Dari penjelasan ayat ini dapat diketahui beberapa hal:

1. Syahru Romadhona alladzi unjila pihil Qur’an……. (Bulan Ramadhan Adalah Bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an)

Jadi Ramadhan adalah bulan turunnya Al Qur’an. Dapat diartikan Ramadhan adalah prosesi penurunan wahyu kepada manusia yang beriman untuk dijadikan petunjuk jalan kebenaran. Itu adalah prosesnya. Sementara pelakunya adalah orang yg berpuasa atau Shoim. Shoim itu adalah orang yang diturunkan Quran kepadanya. Shoim itu sendiri secara lughowi artinya adalah orang yang menahan. Apa yang ditahan? Yang ditahan adalah wahyu yang disampaikan kepadanya, harus ditahan dulu karena masih dalam proses penurunan, sehingga nantinya bisa sempurna dan komprehensif.

2. Paman syahida minkum Asy-syahro pal yashum… (barang siapa diantara kamu yang mempersaksikannya maka berpuasalah..

Ayat ini menerangkan siapa sebenarnya orang yang wajib berpuasa itu. Pada potongan ayat tersebut ada syarat yang harus dipenuhi maka ada perintah berpuasa. Di tandai dengan kata “pa man syahida syahro”. Siapa yang “Syahida syahro”, maka “pal-yashum” diperintahkan puasa.

Siapakah orang yang syhida itu? Banyak yang mengartikan syahida itu dengan melihat, sehingga syahida syahro artinya melihat bulan. Dan perlu diketahui bahwa syahro disini bukan berarti bulan fisik (Qomar:bhs arab). Syahida seakar kata dengan syahadat, sedangkan syahro adalah bulan yg berarti waktu, yaitu bulan yang sama dengan 30 hari. Jadi bagaimana mengartikan syahida syahro tersebut???

>>bersambung...... tunggu aja bntr lg...

Sabtu, 31 Juli 2010

Artikel : Misteri Lailatul Qadr

Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita berbicara tentang surat Al-Qadar. Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surat Iqra’. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra’. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah. Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah Swt dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.

Kalau dalam surat Iqra’ Nabi Saw (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.

Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran “lebih baik dari seribu bulan”. Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran 15 abad yang lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisi material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.

Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa, “Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, dimana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan.”
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS. Al-Dukhan: 3-5).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr: 1). Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Hal ini disyaratkan oleh adanya “pertanyaan” dalam bentuk pengagungan, yaitu:
“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?” (QS. Al-Qadr: 2)

Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran, sepuluh diantaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah:

“Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Al-Thariq: 2)
“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12)
"Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS. Al-Qadr: 2)
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat.
“Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya?” (QS. Al-Ahzab: 63)
“Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?” (QS. Al-Syura: 17)
“Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)?” (QS. ‘Abasa: 3)
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia.

Secara gamblang Al-Quran –demikian pula As-Sunnah– menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri. Sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perhedaan kedua kalimat tersebut.

Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena disanalah kita dapat memperoleh informasinya. Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Disini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:

Penetapan dan pengaturan, sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia bai sebagai individu maupun kelompok.

Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An’am: 9 yang berbicara tentang kaum musyrik:Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidakmenurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.

Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr:Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara lain dalam surat A1-Ra’d: 26: “Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.
Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi. Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.

Memang turunnya Al-Quran 15 abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.

Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Disisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang disana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?

Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad ‘Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh memberi ilustrasi berikut:
Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.

Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar, tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.

Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi Saw menganjurkan sambil mengamalkan i’tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i’tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.

Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara 1ain adalah melakukan i’tikaf.

Walaupun i’tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja –bahkan dalam pandangan Imam Syafi’i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci– namun Nabi Saw selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Disanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka”. (QS Al-Baqarah: 201)
Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab, sebagai berikut: “Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar”.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan: “Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas…”
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.

Sumber : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Selasa, 27 Juli 2010

Menakar Proporsionalitas Akal & Wahyu

Menakar Proporsionalitas Peran Akal dan Wahyu

Pendahuluan

Akal dengan segala kemampuannya untuk berpikir adalah kelebihan yang membedakan antara manusia dan makhluk lain. Al-Qur’an banyak menyerukan kepada manusia untuk berpikir. Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi kebebasan menggunakan akal pikirnya untuk memakmurkan kehidupan, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak dan berkecenderungan kepada mencari kebenaran. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama. Oleh karenanya kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Karena perbedaan kriteria maka kebenaran baik yang bersifat subyektif maupun yang bersifat obyektif sama-sama relatif sepanjang itu dihasilkan melalui proses berpikir. Karena berpikir sebagai bagian dari aktifitas fisafati bersifat spekulatif. Sebuah kebenaran yang dicapai melalui berpikir sangat ditentukan oleh subyektifitas atau obyektifitas dalam berpikir.

Berbicara tentang persoalan berpikir obyektif sebagai bentuk kerja akal tidak bisa terlepas dari berpikir secara filsafati, karena sesungguhnya filsafat mengajak manusia berpikir menurut tata tertibnya (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalan. Jadi berpikir secara filsafati yang dimaksudkan adalah berpikir secara mendasar (radic) , bebas dan logis tidak terikat oleh nilai apapun termasuk wahyu.

Berpikir sebagai kegiatan filsafati individual memang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan komunal atau sosial, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi dari hasil sebuah pemikiran akan memasuki pada ranah-ranah kehidupan sosial. Sebagai contoh rekayasa bioteknologi seperti cangkok sperma, kloning, cangkok ginjal babi dan sebagainya dalam tataran sebagai pruduk berpikir adalah sah adanya. Tetapi pada tataran aplikasi tentu (minimal bagi umat Islam) akan mempertanyakan status hukumnya, misalnya bolehkah hal itu dilakukan, bertentangan dengan hukum dan moral agama atau tidak dan sebagainya. Meskipun demikian, jika berpikir terlalu dibatasi dengan norma atau nilai tertentu maka yang terjadi adalah pemasungan fitrah manusia itu sendiri.

Untuk mendapatkan pemahaman yang clear and distingue tentang tarik menarik antara peran akal dalam berpikir dan wahyu sebagai norma dan etika agama, yang sudah barang tentu akan membatasi kebebasan, perlu dilakukan telaah secara obyektif dengan melihat wilayah kerja dan kewenangan masing-masing baik pada tataran ontologi maupun aksiologinya dalam mewujudkan kesejahteraan kehidupan umat manusia. Tulisan ini mencoba membincangkan proporsionalitas peran akal dan wahyu. Pertanyaannya adalah kapan akal bisa meninggalkan wahyu, atau sebaliknya kapan wahyu harus mempetieskan peran akal, dan kapan pula antara akal dan wahyu saling bersinergi pada wilayah garapan yang sama. Ada ruang bertemu dan ada ruang berpisah antara peran akal dalam berpikir dan wahyu sebagai norma dan etika agama. Pada titik inilah makalah ini difokuskan pembahasannya.

Kebebasan Menggunakan Akal dalam Berpikir

Manusia dianugerahi akal adalah agar manusia dapat berpikir secara bebas dan bertanggung jawab untuk membedakan antara yang benar dan yang salah yang baik dan sebaliknya. Benar dan salah yang dicapai oleh akal manusia diukur dengan logika yang pada hakikatnya bebas nilai. Mengapa, karena ketika kebebasan berpikir dipasung dengan nilai-nilai tertentu, maka sesungguhnya itu merupakan awal ketakberdayaan manusia. Ketika kondisi seperti ini yang terjadi, maka pada saat yang bersamaan kebudayaan akan punah. Begitu pula, ketika dunia ini kosong kebudayaan, maka sudah tidak perlu lagi apa yang di sebut sistem nilai- budaya (cultural value system). Antara budaya manusia dan nilai yang terkait dengannya tidak dapat dipisahkan, masing-masing ada karena yang lain.

Secara umum berpikir dapat didefinisikan sebagai perkembangan idea dan konsep. Dalam metafisika, berpikir adalah sebuah proses kerja akal budi ketika menangkap pengalaman (realita) untuk menemukan sebuah kebenaran tentang realita atau pengalaman itu sendiri. Apa yang ditangkap oleh pikiran termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia dari lingkungan dimana ia berada sesungguhnya adalah bersifat mental. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang- bintang, menembus galaksi dan awan-gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurnya.

Dalam berpikir menemukan kebenaran manusia melakukan penalaran yakni berpikir melalui cara-cara yang logis dan sistematis. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis dalam arti melakukan sebuah kegiatan berpikir menurut suatu pola atau logika tertentu. Ciri kedua dari penalaran adalah, sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis, dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.

Berdasarkan kriteria penalaran tersebut, dapat dikatakan bahwa kegiatan berpikir yang tidak logis dan tidak analitis tidak termasuk ke dalam penalaran. Corak berpikir yang seperti ini terlepas dari aturan apapun karena sangat subyektif, bersifat dlarûriy (tak terpikirkan) dan tidak terukur. Misalnya, perasaan enak , tidak enak, senang, atau benci dan intuisi merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Seperti halnya intuisi, manis panas dan sebagainya adalah termenologi yang diberikan oleh manusia kepada gejala yang ditangkap melalui pancaindra. Rangsangan pancaindra ini disalurkan ke otak tanpa melalui proses berpikir nalar, dapat menghadirkan gejala tersebut melalui proses kimia-fisika. Dalam hal ini menurut aliran monistik, sebagai salah satu aliran dalam psikologi yang berpendapat tidak membedakan antara pikiran dan zat, proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak. Bagi aliran ini, berpikir adalah sebuah kegiatan aparat-aparat dari otak secara mekanik.

Sebagai proses elektrokimia, maka berpikir adalah bebas nilai karena pembatasnya adalah logika yang merupakan cara penarikan kesimpulan dalam berpikir, sehingga dalam proses menemukan kebenaran, validitas sebuah hasil dari proses berpikir selalu ditentukan dan diukur dengan cara-cara tertentu secara logik baik dengan menggunakan logika deduksi maupun logika induksi. Begitu pula secara ontologis maupun secara epistemologis, ilmu sebagai hasil dari proses berpikir secara logis dan sistematis juga bebas nilai secara total. Mengapa, karena kebenaran dalam ilmu diukur dengan realita yang konkrit dan melalui cara berpikir yang logis yang biasa disebut metode ilmiah, sehingga kebenaran ilmiah adalah sebuah kebenaran yang dapat dibuktikan dan dapat diuji kembali.

Secara aksiologi ketika ilmu sebagai anak kandung akal yang lahir melalui proses berpikir dihadapkan pada masalah moral, ketika ternyata ilmu dan teknologi membawa ekses yang merusak kehidupan, misalnya, senjata biologi, pengembangan uranium untuk membuat bom dan sebagainya, para ilmuwan terbagai ke dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo Galilie. Tugas ilmuwan adalah berpikir secara nalar untuk menemukan pengetahuan. Adapun penggunaanya sepenuhnya terserah pada pengguna. Manusialah yang menentukan baik dan buruknya ilmu. Pada tataran ini Ilmu tidak mau bahkan tidak peduli dengan wahyu (agama).

Pendapat kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan (ontologi) dan epistemologi, sedangkan dalam penggunaannya (aksiologi) harus berlandaskan pada asas-asas moral termasuk moral agama yang bersumber dari wahyu. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika manusia menyadari bahwa manusia seyogyanya mengontrol pikirannya dengan moral. Karel Jaspers mengatakan bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah lengketnya etika dengan ilmu. Ilmu bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesame manusia dan tanggungjawab secara agama.

Sebagai illustrasi, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyâ Ulûm al-Dîn, ia mengkritik fiqh sebagai ilm al-dunyâ. Rumusan kerangka teoritik fiqh yang formalistik telah kehilangan aspek etiknya sehingga ilmu fiqh seakan-akan telah menjadi ilmu yang netral etik. Ia mengatakan bahwa sering ditemukan anggapan bahwa suatu ilmu itu nampaknya tergolong terpuji (mahmûdah) padahal sebenarnya ilmu itu tercela (madzmûmah). Kalau kita tarik pada ranah filosofi sesungguhnya cara pandang al-Ghazali terhadap ilmu fiqh (sebagai bagian dari ilmu secara umum) sangat menekankan aspek aksiologisnya yakni kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Dengan demikian, akal sebagai peretas ilmu (sain) betapapun hebatnya tidak boleh meninggalkan bahkan harus mau dikontrol oleh wahyu sebagai pembawa pesan moral agar akal dan ilmu sebagai anak kandungnya menjadi meaningful bukan meaningless.